Souma membuka matanya akibat getaran yang mengguncang tubuhnya disertai dengan suara keras disekitarnya. Karena masih merasakan lelah dan mabuk di seluruh tubuhnya, penglihatannya masih kabur. Meski begitu, dia pelan-pelan membuka matanya.
Yang pertama kali terlihat olehnya adalah tubuhnya yang penuh dengan debu dan kotoran. Sepertinya dia tertidur di suatu gudang. Begitu matanya perlahan terbuka, dia melihat padang rumput berwarna kuning kecoklatan yang layu disertai angin dingin yang bertiup kencang melintasi dataran.
“Lu Bana! Lu Bana! Pomus ishytal kimuya!”
Dia bisa mendengar teriakan dengan bahasa asing yang belum pernah dia dengar sebelumnya.
“Ah… ahh… uuh.”
Dia mencoba untuk berbicara entah bagaimana, tapi tidak ada yang keluar selain erangan kesakitan dari tenggorokannya yang kering. Dia merasa mual, tapi karena tidak ada yang keluar dari perutnya, dia hanya merasa sakit.
“Sugabramu! Sugabramu!”
Dia mendengar teriakan seorang pria dari dekat.
“Somalua ork furnoiha!”
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi paling tidak itu bukan bahasa Jepang atau Inggris.
Setelah beberapa saat dia bisa mendengar langkah dari tapak kaki kuda yang pernah dia lihat di film.
“Ou. Di Ork furnoiha?”
Bersamaan dengan suara itu, wajah Souma di tutupi oleh bayangan. Souma tidak bisa menggerakkan lehernya karena kelelahan yang menembus tubuhnya.
Walaupun begitu, dia melihat objek yang menutupi sinar matahari dengan menggerakkan matanya.
(… Apa ini? Apakah ini mimpi?)
Apa yang masuk ke dalam visinya yang sedikit terbuka adalah wajah yang mirip seperti kadal. Namun, ukurannya sama dengan kepala kuda dan itu di tutupi dengan rambut coklat cerah yang seharusnya tidak di miliki oleh kadal. Kadal itu melihat kebawah pada Souma sambil mengeluarkan lidahnya, yang terbagi menjadi dua di ujungnya.
Tidak mungkin makhluk seperti ini ada di dunia nyata.
Itulah yang Souma pikirkan.
“Diha noiha? Diz migur noiha?”
Suara itu membanjirinya dari atas, tapi itu menggunakan kata-kata yang tidak di pahami oleh Souma.
“… Di… Dimana, tempat ini…?”
Dia mati-matian meremas kata-katanya, tapi hasilnya hanyalah bisikan lemah yang tidak ada bedanya dengan nafas panjang. Lalu kesadaran Souma, yang kehabisan tenaga hanya dengan itu, sekali lagi di telan oleh kegelapan.
◆◇◆◇◆
Menandakan akan datangnya musim dingin yang keras, angin utara yang dingin berhembus di padang rumput.
Sampai belakangan ini, musim panas, Zao, didominasi oleh panas yang terik. Namun, dengan musim gugur yang pendek, Nagurto, hanya dalam sekejap mata, sekarang sudah musim dingin, Nero. Pemimpin Pleton Setius mengerutkan keningnya karena angin dingin yang terasa mengigit seakan-akan bisa membelah tubuh orang.
Pemusnahan penganut iblis yang memberi masalah ke sekitar telah selesai lebih cepat, dari yang dia harapkan. sang pendeta, yang secara khusus datang dari ibu kota, yang melebih-lebihkan dengan membual [Ini adalah kehendak Tuhan] . Karena perkataan itu dia datang memerintahkan untuk pembasmian para penganut iblis, Setius gelisah dengan tingkat kengerian mereka.
Namun, ketika dia melihat hasil pembasmian, semua penganut iblis itu hanya sekumpulan pemula. Tidak semengerikan monster atau sihir yang mencurigakan seperti yang ada di cerita penyanyi juga tidak muncul.
Malah pawai dari benteng lebih menyulitkan daripada pembasmian itu sendiri.
“Cepat! Cepat! Matahari sudah terbenam di barat!”
Dia bisa mendengar salah satu pemimpin pasukan mengomeli bawahannya.
Aku juga entah bagaimana ingin sampai di tempat dengan batu-batu besar, yang lokasinya di luar titik ini, sebelum malam tiba. Jika kita berkemah di Padang rumput yang berangin ini, kita akan tersiksa dengan angin utara sepanjang malam dan tidak bisa beristirahat dengan tenang.
“Pemimpin Pleton! Pemimpin Pleton!”
Itu adalah suara pemimpin pasukanyang berada di antara barisan.
“Sepertinya anak muda itu sudah bangun!”
Saat ini, jika kata [anak muda] di sebutkan di unit ini, yang di maksud adalah anak yang di duga sebagai [Anak Ilahi] yang di temukan di tempat para penganut iblis itu.
Menarik kendali, Setius memutar kepala Kiryu. Kiryu, yang di kendarai Setius, adalah tipe kadal yang tidak bisa di panggil Naga walaupun ada kata Naga* di namanya. Dia menendang tanah dengan dua kaki belakang yang tebal dan kuat sedangkan kaki depan yang pendek dan ramping. Kaki depannya di gunakan untuk menjabarkan mangsa yang tergigit dan saat berdiri dengan apa yang hanya bisa desbut push-up saat sedang berbaring terbalik di tanah. Seluruh tubuh Kiryu di tutupi oleh sisik yang berwarna hitam kebiruan dengan rambut coklat muda yang tumbuh di antara sisiknya. Jika itu adalah pedang yang murah, maka itu tidak akan bisa menggoresnya. itu mempunyai kelemahan yaitu lemah terhadap hawa dingin, tapi itu adalah makhluk merupakan tunggangan yang kuat sehingga di sukai oleh para tentara karena tidak pengecut dan tidak membutuhkan banyak perawatan, yang katanya hidup di Padang rumput Selatan yang jauh.
(T / N: Kiryu ditulis menggunakan kanji untuk gunung dan naga, menjadi Kiryuu, tapi aku memotong satu “u.” 🙂)
“Oy! Apakah anak itu sudah membuka matanya?”
Pemimpin pasukan menjawab pertanyaan Setius dengan anggukan, dan menunjuk ke atas muatan di ruang kereta sebelahnya tempat persediaan dan persenjataan ditumpuk.
Di celah yang terbuat di antara barang bawaan, bocah laki-laki itu, yang di temukan di tempat para penganut iblis, sedang tertidur di tutupi dengan selimut yang tidak ada bedanya dengan pakaian kasar.
Setius mendekati kereta itu dengan Kiryu nya, yang di cocokan dengan perjalanannya dan mengintip ke wajah bocah itu.
Apakah bocah ini mempunyai penyakit? Wajahnya pucat dan mengeluarkan erangan kesakitan.
Jika itu adalah penyakit yang menular, bukankah itu akan menyebabkan masalah?
Dia memikirkan ini, tapi setelah mengatakannya, dia tidak punya pilihan untuk mengabaikannya begitu saja.
Aku pikir tidak ada pilihan selain membatasi akses ke bocah ini sebisa mungkin.
Saat dia mengawasi anak itu, dia akhirnya membuka matanya, tapi dia terlihat tidak fokus.
Dengan ini, dia tidak bisa mengharapkan jawaban yang layak, tapi walaupun begitu dia mencoba bertanya ke anak itu untuk berjaga-jaga.
“Siapa sebenarnya dirimu? Apakah kamu [Anak Ilahi]?”
Tapi, seperti yang dia duga tidak ada jawaban.
Pada saat itu suara yang lemah dari anak itu sampai ke telinga Setius yang berpikir apakah itu sia-sia.
“… Di… Dimana, tempat ini…?” (T/N : authornya menggunakan romaji di sini jadi bayangkan Setius tidak memahami kata-katanya )
Itu adalah kata-kata yang belum pernah di dengar Setius sebelumnya.
Sepertinya itu bukan Bahasa Deas yang menjadi bahasa resmi di sekitar sini, dan juga bukan Bahasa Suci yang di gunakan oleh para imam. Di sisi lain, itu juga bukan bahasa yang di gunakan oleh demi-human seperti elf dan dwarf.
Di lihat dari pakaiannya, anak itu datang dari tempat terpencil yang sangat jauh, tapi mulai dari dia, tidak ada dari pleton yang tau dimana tepatnya tempat itu.
Aku pernah mendengar tentang manusia berambut hitam yang tinggal di pulau misterius jauh di timur dari cerita-cerita dari pedagang pengembara dan penyanyi di bar. Tapi aku bertanya-tanya apakah anak ini benar-benar datang dari sana?
“Kamu datang dari mana? Siapa kamu?”
Namun, dia tidak mendapatkan jawaban karena anak itu kehilangan kesadarannya sekali lagi.
Ketika Setius menghela nafas karena kesal, pemimpin pasukan, yang dengan penuh perhatian melihat jalannya cerita, dengan rasa takut memanggilnya.
“Pemimpin Pleton, apa yang harus aku lakukan dengan bocah ini?”
“Ini tidak seperti kita bisa membuangnya. Jaga dia agar tidak mati.”
Dengan perintah itu, pemimpin pasukan hanya menunjukan senyuman yang di paksa dengan pipi sempit, dan tidak memberikan persetujuannya dengan segera.
“Ada apa, pemimpin pasukan? Apakah kamu punya keluhan?”
Karena pemimpin pasukan menunjukan perilaku yang bisa di maksudkan dengan ketidaksetujuan dengan perintahnya, Setius memaksanya untuk menjawab dengan mengkonversikan kata-katanya dengan teguran.
Pemimpin pasukan menundukan kepalnya dan berkata dengan mata terbalik.
“Pemimpin Pleton, orang ini, ummm, seorang [Anak Ilahi], kan?”
Setius menyetujuinya.
Karena insiden beberapa waktu lalu di benteng Setius dan seluruh pletonnya bekerja, [Anak Ilahi] adalah keberadaan yang tabu.
“Bukankah aku akan di kutuk sampai mati jika aku terlibat dengannya dengan cara yang buruk? Selain itu, dia terlihat kesakitan.”
Itu tidak seperti dia tidak mengerti perasaan pemimpin pasukan. Jika Setius tidak memilik tugasnya sebagai Pemimpin Pleton, dia sudah meninggalkan anak itu di dataran.
Dengan enggan, Setius membentangkan tangannya lalu membungkukkan badannya ke depan di atas Kiryu nya dan menyentuh tubuh akan itu.
“Lihat. Aku tidak di kutuk karna menyentuhnya. Lagipula, insiden itu di sebabkan oleh raja benteng itu, umm, bagaimana menyebutnya… pemujaan yang mengganggu. Meskipun benar dia adalah [Anak Ilahi], biasanya kamu tidak akan di kutuk begitu saja.”
Walaupun mengatakan itu, Setius khawatir di pikirannya tentang di kutuk hanya dengan menyentuhnya. tapi, dia tidak boleh menunjukan perilaku seperti itu, dia mengatakan itu kepada pemimpin pasukan sambil menggertak.
“Jika kamu mengatakan kalau kamu takut dengan kutukannya [Anak Ilahi], kamu akan di kutuk dan di benci jika kamu meninggalkannya mati kelaparan di dataran.”
Dengan mengatakan itu, tubuh pemimpin pasukan terguncang, bergetar dengan kuat.
“Aku mengerti, Pemimpin Pleton! Sebagai gantinya, tolong traktir satu botol alkohol saat kita kembali.”
Ketika dia menjawab “Aku mengerti” kepada pemimpin pasukan, Setius membuat kiryu nya lari ke depan pleton dengan memukulnya menggunakan pecutnya.
Pada saat itu, angin kuat dari Utara tampak berhembus. Saat dia melihat ke langit di tutupi oleh awan hitam pekat menandakan akan segera turun salju.
“Sial… bukankah cuacanya terlihat menyeramkan?”
◆◇◆◇◆
Wilayah ini, yang di sebut Solbiant Plains, dulunya berada dalam pengaruh Zoan, salah satu spesies demi-human.
Namun, ingin memperluas area produksi biji-bijian yang berbatasan dengan wilayah ini, Negara Bagian Holmea secara bertahap memperluas pengaruhnya sampai ke dataran ini. Itu adalah cerita 30 tahun yang lalu.
Tentu saja bekas penghuni, para Zoan, memberontak melawan. Pada kesempatan yang tak terhitung jumlahnya kedua belah pihak bentrok sambil bertukar pedang dan darah di dataran.
Kekuatan individu para Zoan yang lebih kuat daripada manusia, tapi di depan rencana yang bagus dari para tentara, kekuatan individu tidak ada artinya.
Dengan kehilangan banyak korban, para Zoan terpaksa pergi dari tempat tinggal mereka dulu.
Sekarang para Zoan mengasingkan diri di bukit yang membentang dari Dornas Mountain Range yang berlokasi di sebelah Utara dataran. Mereka tinggal di sana seolah bersembunyi.
Namun, karena bahkan sampai sekarang mereka turun ke dataran untuk mencoba merebut kembali tanah mereka, sebuah benteng tunggal dibangun di depan area berbukit untuk melindungi para petani perintis dari Zoan.
Pleton yang di pimpin oleh Setius tiba di benteng tiga hari setelah penaklukan para pemuja iblis.
Mengomeli bawahannya yang menurunkan perhatian mereka dan mengambil nafas lega setelah melewati gerbang benteng, Setius, yang memerintahkan mereka untuk menulis laporan dan berbaris setelah kembali, menyadari kedatangan dari Ajudan Komandan Kompi, Marchronis, dan memberi hormat dengan menghentakan kakinya dengan suara.
“Pemimpin Pleton Setius baru kembali ke markas!”
“Kerja bagus, Setius.”
Marchronis adalah orang yang sudah memasuki masa paruh baya. Beberapa bekas luka sayatan pedang terukir di wajahnya seakan menceritakan masa militernya.
“Para penganut iblis, yang menculik putri dari petani desa, sudah selesai di taklukan. Tidak ada korban jiwa di pleton ku!”
Marchronis menunjukan senyum puas pada fakta bahwa tidak ada kerugian di pleton selain prestasi dari penaklukan penganut iblis, tapi saat dia mendengar suara yang keras dari belakang, wajahnya menjadi cemberut.
“Kau bodoh, cacing sialan! Bisakah kamu berjalan dengan cepat!? Cepat, gerakan kakimu!”
Yang berteriak menghina itu adalah lelaki yang gemuk. Dia memakai baju imam berwarna putih dan biru nila, tapi bagaimanapun kamu melihatnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti pendeta. Penampilannya mengisyaratkan bahwa dia lebih cocok berbicara tentang makanan atau skema membuat uang daripada berkhotbah tentang cinta ilahi.
Ketika imam itu menaikan suaranya sambil duduk di atas tandu yang di bawa oleh dua orang pria setengah telanjang, dia mangacungkan cambuk kuda di tangannya.
“Di sini, di sini, imam Mildas-dono. Ada urusan apakah sehingga kamu secara khusus datang ke tempat seperti ini?”
Menyembunyikan seringainya, Marchronis menyapa pendeta itu dengan cara bicara yang berlebihan. Imam Mildas di panggil [Babi] atau [Kodok Keriput] oleh tentara yang berada di dalam benteng, tapi walaupun begitu dia tetaplah imam resmi ekspedisi. Di benua di mana otoritas Iman Suci sangat kuat, dia adalah lawan yang tidak bisa di anggap enteng bahkan oleh seorang jendral sekalipun, apalagi pembantu perusahaan.
“Tidak, tidak ada, Marchronis-dono. Ini tentang para penganut iblis yang menyalahkan Iman Suci. Bagi pelayanan tuhan yang iman masalah ini adalah urusan yang serius. Tidak bisa menunggu lebih lama, saya yang rendah hati ini datang kesini sesegera mungkin.”
Mengatakan itu, Mildas membuat tenggorokannya, yang menggantung oleh lemak, bergetar saat tertawa.
“jadi, aku penasaran, apa yang terjadi dengan para penganut iblis yang mengerikan itu?”
Setius memerintahkan bawahannya untuk membawa tas linen kecil serta toples dengan ukuran yang bisa di bawa di bawah satu tangan.
Pertama Setius membuka tali yang mengikat tas itu, membukanya dan melihatkan isinya.
Sejumlah besar potongan kuping manusia memenuhi tas itu.
“Kami hanya membawa kuping kanan mereka sebagai bukti telah menaklukan penganut iblis itu.”
Karena sulit untuk membawa kepala dari semua penganut iblis, mereka memotong kuping kanan sebagai gantinya.
Selanjutnya Setius membuka tutup toples, yang di taruh di tanah, dan mengeluarkan yang diawetkan dengan garam.
“Dan, sesuai dengan perintah anda, pemimpin dari penganut iblis. Di awetkan dengan garam seperti yang anda lihat.”
Imam Mildas memukul salah satu pria, yang membawanya di bahunya*, dengan cambuk.
(T/N : mungkin maksudnya orang itu di cambuk di bahunya)
“Cepat dan rendahkan tandunya. Kau orang bodoh!”
Sambil mengeluarkan tangisan kesakitan, para pria itu merendahkan tandunya dengan berdiri menggunakan lutut. Ketika tandunya sudah rendah Mildas turun menggunakan kepala para pria sebagai pijakannya, dia mengambil kepala segar dari tangan Setius dan terus menatapnya dengan seksama.
Setius merasa kasihan kepada pria yang tergeletak di tanah, yang di mulai dengan kepalanya yang di gunakan sebagai pijakan.
Tak terhitung jumlah bekas cambukan di tubuhnya, yang mengenakan pakaian usang dan compang-camping, dengan darah merah yang mengalir beberapa dari mereka.
Dia berpikir bahwa itu adalah perlakuan yang kejam walaupun mereka adalah budak, dia melihat bahwa mereka bukanlah manusia.
Tinggi mereka setara dengan anak kecil, tapi janggut lebat menutupi wajah mereka dan memilik tubuh yang kekar. Mereka adalah salah satu spesies demi-human yang di sebut dwarf.
Dengan alasan itu, dia tahu kenapa imam itu menangani mereka dengan cara itu.
Bagi Iman Suci yang mengunggulkan manusia, spesies demi-human dia anggap kotor, spesies inferior yang patut di singkirkan sebagai manusia yang gagal.
Mildas bersorak gembira di depan kepala yang putus.
“Ooh! Ini tidak di ragukan lagi adalah kepala dari pemimpin penganut iblis! Kerja bagus! Kamu melakukan kerja yang bagus!”
Dia mengembalikan kepala itu ke dalam toples seakan-akan itu adalah benda yang berharga, membawanya di bawah tangannya dan menunjukan senyuman yang jorok.
“A-aku akan mengambil tanggungjawab atas kepala ini dan membawanya kembali ke Kota Suci! Yah, sesuai harapan darimu, Marchronis-dono! Ini adalah prestasi, prestasi yang luar biasa!”
Marchronis menyadari bahwa kepala bernilai lebih dari sekedar kepala pemimpin penganut iblis berkat sikap Mildas, tapi dia menyembunyikan fakta itu dengan membungkuk ringan tanpa berbicara.
Kelihatannya dia akhirnya dalam mood yang baik, tidak perlu mengusir ular keluar dari semak-semak dengan menyenggolnya dengan ceroboh. Setelah menghiburnya dengan kemampuan terbaik kita, aku akan senang jika dia meninggalkan benteng secepat mungkin adalah pendapat pribadinya.
Dan, menurut dugaan Marchronis, pria tua yang di duga sebagai pemimpin penganut iblis bukanlah pria tua biasa. Sebagai salah satu Imam Agung yang memerintah Iman Suci di Kota Suci, orang tua ini memegang pengaruh kepala keluarga terkemuka sampai beberapa tahun yang lalu.
Namun, di kalahkan oleh kudeta dalam Iman Suci, dia lari dari Kota Suci setiap posisi dan haknya di lucuti dan di labeli stigma penganut iblis bersama klannya.
Bagaimana dan darimana dia mendapatkan informasi itu? Mildas, yang tau bahwa mereka menyelamatkan diri ke area ini baru-baru ini, datang dengan ide untuk membunuh orang tua dengan menggunakan tentara dari benteng dengan pura-pura bahwa ini adalah keinginan Tuhannya yang tersayang.
Walaupun dia kehilangan semua otoritasnya, dia adalah orang tua yang berdiri paling dekat dengan puncak dari Iman Suci. Untuk Imam Agung yang saat ini mengontrol Iman Suci, dia tidak lebih dari duri yang di sisinya.
Jika aku masuk ke Kota Suci sambil membawa kepala itu, perasaan para Imam Agung akan menguntungkan dan aku akan di percayakan dengan jamaah gereja atau, jika aku memainkan tanganku dengan cerdik, bahkan bekerja di Kota Suci bukanlah mimpi.
Setius memanggil Mildas, yang menunjukan senyuman lebar sambil membayangkan reputasi yang bisa di dapat dari ini.
“Imam Mildas-dono, bolehkah aku menanyakan satu hal?”
Karena lamunannya yang berharga di ganggu, Mildas menjawab sambil terlihat kesal.
“Ya, ya, aku tau. Aku akan membuat laporan karja bagusmu dengan benar. Tolong jangan kuatir.”
“Tidak, bukan itu yang aku maksud…” Setius menjawab dengan memelankan suaranya. “Sebenarnya, kami menemukan anak yang mencolok di persembunyian para penganut iblis.”
“Anak yang mencolok, katamu? Hal bodoh apa yang kamu bicarakan? Jika dia ada di persembunyian para penganut iblis, orang itu pastinya salah satu dari para penganut iblis itu. Semuanya akan baik-baik saja dengan memotong kepalanya secepat mungkin.”
Menanggapi ejekan Mildas yang dengan jelas mengolok-olok nya, Setius merendahkan suaranya lebih lirih.
“Yah, faktanya, anak itu terlihat sebagai [Anak Ilahi].”
Karena kata-kata itu, tidak hanya Mildas tapi juga Marchronis, yang diam-diam mendengarkan dari samping, menunjukan ekspresi terkejut
“Jenis [Anak Ilahi] apa dia?”
“Yah, ini memalukan tapi, aku tidak tau jenis [Anak Ilahi] apa dia, aku akan membawanya kepadamu secepat mungkin untuk meminta pendapat terhormatmu.”
Mildas mengejek dia dengan [Kebodohan seperti itu] .
Mereka yang di pilih sebagai [Anak Ilahi] mempunyai segel yang terukir di suatu tempat di tubuhnya. Ketika seseorang melihat segel itu, mereka akan segera mengetahui dengan sekali pandang dia [Anak Ilahi] seperti apa. Tidak mengetahuinya maka dia kurang pengetahuan.
Berpikir bahwa itu tidak akan sulit untuk memperlihatkan pengetahuan superiornya kepada orang bodoh yang berada pada level tentara yang bekerja di daerah terpencil ini, Mildas menyuruh Setius untuk membimbingnya ke anak itu sambil mengudara.
“Ini adalah anak yang saya maksud.”
Setius menunjuk ke anak berambut hitam yang sedang tidur di ruang pemuatan.
Mildas mengerutkan alisnya, bahkan baginya ini adalah pertama kalinya dia melihat orang berambut hitam seperti ini. Selain itu, pakaian aneh ini, apa itu?
“Dan ini adalah [Segel]nya.”
Mengatakan itu, Setius menyingkirkan poni yang menutupi dahi anak itu.
Sosok yang seperti kombinasi dari angka 8 dan ∞ samar-samar bersinar di dahi anak itu.
“I-… Ini?”
Mildas kebingungan. Meskipun dia membual, segel yang ada di dahi anak itu berbeda dengan yang dia tau. Karena dia pastinya tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak tau pada titik ini, dia memutuskan untuk mencari jalan keluar dari situasi ini, tapi saat dia sekali lagi melihat segel itu, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di ingatannya.
Coba aku lihat? Sepertinya aku pernah melihat segel itu di suatu tempat…?
“…! Ah, aaaaah!!”
Setius dan Marchronis membuka lebar matanya karena terkejut oleh jeritan tiba-tiba Mildas.
Mildas melompat dari tandunya dengan suara yang berisik dari kakinya.
“Ma-Marchronis-dono! Anak itu jangan perbolehkan dia pergi! D-detailnya akan menyusul nanti!”
Sambil mengatakan itu, dia.pergi dengan tergesa-gesa dengan memacu budak dwarnya dengan cambuk.
Setius dan Marchronis yang tertinggal melihat satu sama lain heran dengan apa yang baru saja terjadi.
Ketika mereka menyadari bahwa toples yang berisi kepala pemimpin penganut iblis tertinggal beberapa waktu kemudian.
◆◇◆◇◆
Ketika Mildas kembali ke kamarnya yang dialokasikan, dia mulai mencari buku di rak buku.
“Bukan ini! Itu juga bukan! Dimana!? Dimana itu?!”
Melempar mereka dari rak buku, ruangannya penuh dengan buku kesenangan dan romantis yang mungkin tidak akan di miliki oleh seorang pendeta.
“Sialan! Dimana aku menaruhnya? — B-benar! Itu masih di simpan di kotak bagasi!”
Selanjutnya, dia membuka tutup kotak kayu yang berada di pojokan dan mulai menggeledah barang di dalamnya. Di bawah barang seperti ikon, yang di masukan dengan mematahkan pergelangan tangan mereka agar muat di dalam kotak kayu yang kacau, dan kitab suci, yang masih bagus seperti baru di buka, dia menemukan buku yang dia cari.
Judulnya adalah [Memorandum Augusto].
Bagi Iman Suci, Messiah* Innocent di puja sebagai Anak dari Tuhan yang di temukan oleh Iman Suci itu sendiri. Buku ini mencatat percakapan Augusto, yang merupakan salah satu muridnya, dengan innocent. (T/N : Messiah itu gampangnya orang yang dipilih oleh tuhan)
Namun, karena dia menulis penghidupan, perilaku dan cara bicara innocent terlalu blak-blakan, buku itu di labeli sebagai apocrypha karena itu menganggu bagi Iman Suci yang mendewakan innocent sebagai mesiah dan Putra dari Tuhan.
“J-jika ingatanku benar, di suatu tempat di sini…”
Sambil menjilat jari-jarinya yang berlemak, dia membalik-balik halaman.
“…! Ketemu!”
Itu adalah bagian yang mencatat percakapan Mesiah Innocent, yang akhirnya bisa menemui Dewa Manusia di akhir pertapaannya selama dua bulan.
Di tengah-tengah percakapan selama tiga hari itu ada saat ketika Dewa Manusia meninggalkan lokasi untuk beberapa alasan. Itu mengatakan bahwa seorang gadis kecil muncul di depan innocent.
Di catatan suci, di katakan bahwa setan muncul untuk menggangu percakapan dengan dewa. Juga, malaikat datang untuk melindungi innocent selama Dewa Manusia tidak ada; namun di [Memorandum Augusto] itu di catat bahwa [yang keluar dari antara kabut pagi adalah seorang gadis dengan segel misterius di dahinya yang bersinar, aku di beritahu guru].
Gadis itu mengirimkan beberapa pertanyaan kepada innocent, tapi untuk semua pertanyaan itu, innocent menjawab dengan ketidakpuasan kepada demi-human, superioritas manusia dan keindahan Dewa Manusia, menurut memorandum.
Menghadapi balasan innocent, gadis itu hanya menjawab dengan [kamu benar-benar manusia yang lucu] dan menghilang kedalam kabut pagi seperti saat dia muncul.
Ketika Dewa Manusia kembali setelah beberapa saat, dia bertanya kepada innocent adakah yang datang ke tempat ini. Walaupun aneh bagi Dewa Manusia yang tidak menyadari keberadaan gadis tadi, dia dengan jujur mengatakan tentang bertemu dengan dia dan Dewa Manusia sangat bingung.
Sambil menelusuri tulisan dengan jari yang gemetar, Mildas membaca dengan keras.
“Guru bertanya kepada dewa tentang identitas gadis itu. Dan begitu dia melakukannya, saya di beritahu oleh Dewa Manusia bahwa; [Dia adalah Aura yang adalah ibu saya dan kaka saya. Kamu tidak boleh memuja Aura. Kamu tidak boleh menunjukan kejijikan kepada Aura. Kamu tidak boleh berbicara tentang Aura. Kamu tidak boleh menyentuh Aura. Kamu seharusnya tidak boleh mengenal Aura.]”
Ketika dia membalik halaman, dia menemukan ilustrasi dari gadis yang di bicarakan yang di gambar oleh Augusto ketika dia mendengar kisah Innocent.
Segel yang tergambar di dahi gadis itu di gambarkan di ilustrasi itu sangat mirip dengan yang ada di dahi anak itu.
Ini adalah segel menakutkan yang mirip dengan dua ular yang saling menggigit ekor sambil menggeliat dan melilit satu sama lain, dan juga terlihat seperti gabungan dari angka 8 dan ∞.
“[Alasannya adalah; Dewa Aura, yang adalah ibu saya dan kaka saya, adalah dewa yang memerintah kematian dan kehancuran.] ! “
Buku itu lepas dari tangan Imam Mildas dengan suara gemerisik. Sambil membuka matanya selebar mungkin karena terkejut, dia menekan suaranya dari dalam tenggorokannya yang kering seolah-olah meremasnya,
“Anak itu adalah [Anak Ilahi] dari Dewa Kematian dan Kehancuran, Aura!”
Hakai no Miko Bab 1 - Chapter 2 : Anak Ilahi
Posted by webnovel, Released on
Komentar
Posting Komentar